Rabu, 03 Juni 2009

Yth. AYAH dan IBU

Sudah bulan Juni, Ayah - Ibu. Aaah, Ayah - Ibu pasti tersenyum dan berkata dalam hati, ‘Ya ya Ayah-Ibu ingat’. Mungkin Ayah-Ibu juga akan bertanya, ‘Kamu pasti mau bikin kue ya?’ Lalu mungkin Ayah-Ibu akan bercerita betapa waktu kecil dulu Microeko paling suka pada kue mangkok warna merah yang Ibu buat dengan campuran air tape beras dan tepung. Aku belum sempat mendengar cerita itu, Bu.

Kadang-kadang aku sedih karena tidak sempat berbicara dan berdiskusi banyak dengan Ayah dan Ibu. Diskusi apa saja. Tentang hidup, tentang agama (betapa banyak yang akan aku tanyakan), tentang rasa sedih dan bahagia, tentang dapur yang beraroma sirih atau temulawak, tentang buku yang yang sedang Ayah baca, tentang artikel yang belum juga sempat aku tulis karena belum ada ide, tentang kertas kado coklat yang Ibu suka (dan juga aku suka), tentang bagaimana menjelaskan pada Ratna kalau tidak boleh mendorong-dorong kakaknya dan atau Ratna supaya ngga jahil sama kakaknya, tentang hidup.

Ibu masih ingat tidak? ‘Aku ingin sekali bisa menulis, Bu’, kataku dalam delman dulu sewaktu kita akan menuju kantor tempat Ayah menerjemahkan artikel yang sangat panjang (dan membuat kepalaku berdenyut membacanya karena begitu teknis ).

Waktu itu Ibu bilang, ‘Belajar saja, kamu pasti bisa’. Seperti biasa Ibu berkata dengan nada yang sangat lembut.

Aku masih belum menemukan semangat (atau ide) yang kuat untuk membuat tulisan bagus seperti yang selalu aku cita-citakan itu.

Sering sekali, Bu, jika aku sedang berada pada kondisi yang melemah aku merasa minder dan mungkin sedikit iri pada mereka yang mampu berkarya dan bekerja diluar rumah tetapi juga bisa menjalankan kewajibannya didalam rumah pada anak-anak dan suaminya maupun istrinya.

Hmm, kalau boleh aku sampaikan saja langsung: Kadang aku iri pada Ayah dan Ibu.

Aku rasa tidak terhitung berapa banyak tepukan dan acungan jempol untuk perjuangan Ayah dan bu. Tidak hanya untuk semua tulisan dan ide-ide cemerlang yang pernah Ibu cetuskan tetapi juga untuk keadaan rumah yang selalu terlihat ’sejuk’. Rumah adalah surga bagi Microeko.

Walau aku rasa aku bisa menduga, Bu, banyak sekali yang harus Ayah dan Ibu korbankan untuk meraih semua itu dan walau tidak tampak sama sekali di wajah dan mata Ayah dan Ibu, pendakian mencapainya juga aku kira sama sekali tidak mudah. Aku rasa ada perasaan yang sempat terobek, sempat patah dan berkeping, sempat luluh lantah, sempat tenggelam dan itulah ,perjuangan Ayah dan Ibu yang membuat aku iri (dan aku juga iri karena Ayah dan Ibu melebihi sunnah rasullulah SAW dalam menjalani hidup ini).

Aku tidak punya semangat membara seperti yang Ayah dan Ibu punya. Semangatku begitu mudah meletup tetapi lalu padam.

Ibu mungkin akan berkata, ‘Tidak apa-apa. Menjadi ibu rumah tangga itu adalah tugas yang mulia. Tidak usah minder karena kamu suatu saat kamu pasti mampu mewujudkan cita-citamu yang lain’.

Ah, sejujurnya aku tidak tahu Ayah akan berkata apa. Tapi InsyaAllah , kelak aku akan temukan semangat Ayah dan Ibu itu sebagai salah satu pendorong aku menjadikan cita-citaku berwujud karya nyata. Dan saat itu tiba, mungkin aku juga akan bertanya-tanya ‘Apa ya pendapat Ayah dan Ibu?’ ..

Dan ketika Microeko berhasul membuat GPS Flight Sensor di Bandara Adi Sumarmo, Solo. Ayah dan Ibu begitu bangganya. Tapi......hiks....yang Ayah dan Ibu berikan tidak sebanding dengan yang Microeko hasilkan.....Utang Microeko kepada Ayah dan Ibu takkan pernah terbayar sampai kapanpun dan Ayah-Ibu tak akan pernah tergantikan selamanya.

Terima kasih, Ayah...Ibu...Dek Ratna...


Microeko

detikInet

GUESTBOOK