Selasa, 02 Juni 2009

REKAYASA KEUANGAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH



Rekayasa Keuangan selama beberapa dekade terakhir telah menghasilkan sejumlah besar produk-produk investasi, tanpa aset riil, terutama dengan cara factoring (penjualan rekening piutang) dan penciptaan derivative (produk turunan). Produk-produk ini meliputi perdagangan Forex Option, warrants, swaps, suku bunga, Forward Rate Agreement dan opsi kontrak future, sementara semua instrument perbankan tradisonal cenderung untuk mendapatkan uang (interest) dari uang yang diinvestasikan tanpa mempedulikan kegiatan sektor riil, banyak produk derivative cenderung memberikan tingkat pengembalian (return) bahkan tanpa keterlibatan uang atau modal.

Misalnya, Forward Rate Agreement (FRA) perjanjian antara dua pihak pada tingkat suku bunga tertentu (satu pihak menggunakan bunga tetap dan pihak lain menggunakan suku bunga mengambang) untuk jangka waktu yang ditentukan dari tanggal jatuh tempo masa mendatang, berdasarkan jumlah nominal yang telah disepakati. Tidak ada komitmen yang dibuat antara pihak-pihak yang bertransaksi pada FRA untuk meminjamkan atau meminjam pada jumlah tertentu. Pemaparan bagi kedua belah pihak hanya berlatar belakang pada perbedaan antara suku bunga yang disepakati dan tarif penyelesaian yang berlaku pada tanggal jatuh tempo.
Suku bunga futures dan option pada kontrak futures adalah pengaturan yang memungkinkan peminjam dan pemberi pinjaman untuk mengunci suku bunga. Suku bunga swap pada dasarnya terdiri dari pertukaran antara dua variable tingkat bunga tetap untuk suku bunga mengambang. Jumlah bunga yang harus dibayar dihitung dengan merujuk pada nominal yang telah disepakati. Jumlah nominal tersebut tidak secara fisik ditukarkan dalam suku bunga swap.
Ahli keuangan Islam setuju bahwa risiko dapat dikelola, namun tidak dihilangkan dari aktifitas ekonomi. aksioma klasik menyatakan, "Keuntungan di justifikasi dengan mengambil kewajiban dan kerugian" hal ini menunjukkan bahwa risiko tidak dapat dipisahkan dari kepemilikan - pemilik aset memiliki baik resiko dan pendapatan asset tersebut. 'derivative, di sisi lain, memisahkan risiko dari kegiatan ekonomi riil dan membuatnya diperdagangkan secara terpisah (lihat: Steinherr, J; Derivatives: The Wild Beast of Finance; John Wiley & Sons, 2000). Risiko dianggap sebagai komoditas dan menjadi dasar rekayasa keuangan tanpa asset yang berlaku. Risiko-imbalan dipisahkan dari asset nyatanya dan compounded derivative (produk turunan majemuk) diturunkan berdasarkan pada indeks pasar dan volatilitasnya, di mana tidak ada kepemilikan dari apapun yang ada. Hal tersbut pada akhirnya melipat gandakan risiko dalam perekonomian dan hanya spekulatorlah yang mengalami kemakmuran sementara agen ekonomi riil seperti produsen dan konsumen, individu maupun ekonomi, tidak lebih baik - mereka lebih makmur jika risiko diminimalkan. Oleh karena itu, risiko buatan memutar balikkan kegiatan ekonomi dengan dampak negatif pada peluang investasi riil.
Keuangan Islam memiliki ketetapan berkenaan dengan forward trading dengan pengetatan kondisi pengiriman dan jatuh tempo untuk memastikan bahwa risiko dan kewajiban diambil secara tepat. Hal ini terutama relevan pada kasus bisnis Forex dimana persyaratan bai 'al sarf harus dicermati. Pengiriman barang salam harus dibuat terlepas dari naik turun, atau pergerakan harga. Ini menunjukkan bahwa forward trading hanya dapat digunakan untuk mempromosikan pertukaran riil produktif dan tujuan-tujuan pertukaran. Derivative modern seperti opsi, swap dan futures, di sisi lain, tidak memiliki subjek yang valid.
Beberapa lembaga meniru produk konvensional; 'total return swap' dengan menggunakan wa'dah (janji) untuk menghasilkan investasi yang sesuai dengan syari’ah 'Shariah compliant' dari investasi non-compliant (investasi non syari;ah). Teknik konversi tersebut diadopsi dengan menggunakan aset tidak syari’ah untuk menghasilkan return ke dalam apa yang disebut investasi shariah. Dalam kaitan dengan hal ini, Shaikh Yusuf Talal DeLorenzo, yang terkenal sebagai ahli shariah dan wakil dari IDB Jeddah dan ADB di Malaysia Islamic Financial and Services Board (IFSB), mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Dinar Standard mengenai karya-Nya, "The Total Returns Swap and the "Shariah Conversion Technology" Stratagem".. mereka tidak membedakan perbedaan antara penggunaan LIBOR sebagai patokan harga dan penggunaan asset non- Shariah sebagai penentu pengembalian". "Istilah satu lembar bagi produk seperti itu menyatakan dengan tegas bahwa tujuannya adalah untuk membungkus asset yang tidak memenuhi persyaratan Shariah menjadi struktur yang sesuai dengan Shariah." (Penekanan tambahan) Dia mengatakan tentang ulama yang mengizinkan transaksi seperti itu, ".. . mereka telah membuat kesalahan serius. Sangat seriusnya, sebenarnya, dalam tulisan saya pada subjek ini saya menyebut keputusan mereka dengan ‘Doomsday fatwa’ ... ada kemungkinan bahwa para ulama telah jatuh ke dalam perangkap literalisme". Dia menyarankan bahwa dewan Shariah harus mempertimbangkan seluruh seri transaksi dan tidak hanya sepenggal-sepenggal”. Dia lebih jauh mengatakan, "Walaupun kesanggupan untuk menukar return mungkin halal, jika return yang dijanjikan telah didapat dengan maksud tidak sah (dengan dana yang dinvestasikan dalam futures Treasury , misalnya), maka janji dapat dinyatakan tidak sah karena telah menjadi sarana legitimasi janji yang tadinya sah, untuk sesuatu maksud yang tidak benar pada akhirnya".
Shar'iah mengharuskan aset setiap kontrak harus Halal dan tiap pengembalian harus tunduk pada pemenuhan aturan-aturan relevan kontrak. Syari’ah melarang semua pertukaran yang didasarkan pada Gharar atau ketidakpastian tentang struktur kontrak, subjek dan harga. Sesuai dengan aturan dalam keuangan Islam, penjualan sesuatu yang memiliki ketidakpastian absolut (berdagang dalam risiko) itu tidak sah, seperti penjualan tanpa pertimbangan dan jatuh tempo yang tidak diketahui.seperti, penjualan barang sebelum menjadi hal miliknya. Alasan di balik semua aturan ini adalah bahwa penjual harus mengambil risiko dari hasil aktivitas perdagangannya. Salam,forward sale diperbolehkan oleh Shariah, juga membutuhkan pihak untuk mengambil aset, harga pasar dan risiko.
Inovasi keuangan tanpa didukung aset secara langsung bertentangan dengan falsafah perbankan Islam dan keuangan yang hanya mengizinkan hasil berdasarkan risiko, salah satu cara lainnya, tergantung pada sifat transaksi: kredit hutang, transaksi perdagangan, sewa atau beberpa jenis kemitraan lain. keuangan Islam mengharuskan semua peningkatan pendapatan / kekayaan harus dilindungi sesuai dengan peningkatan tenaga kerja yang diberikan, risiko, komoditi atau keahlian. Risiko dan imbalan / hak dan kewajiban harus bergandengan. keuntungan dilegitimasi dengan terlibat dalam kegiatan ekonomi dengan demikian dapat berkontribusi dalam pengembangan sumber daya dan masyarakat.
Beberapa praktisi telah mengembangkan opsi derivative Islam berbasis arbūn dan khiyaraat (konsep tradisional pembelian opsi untuk membatalkan penjualan). Tetapi mayoritas ulama tidak menerima pandangan ini dengan menyatakan bahwa kebolehan khiyaraat dan bai al-'arboun telah disalahfahamkan untuk mendapatkan perizinan perdagangan dalam pasar derivative..
Arbūn didefinisikan sebagai penjualan dengan pembayaran sebagian (sebagai tanda jadi) dengan kondisi bahwa jika pembeli akhirnya membeli komoditas tersebut, uang tanda jadi tersebut menjadi bagian dari harga jual dan jika ia tidak jadi membeli, muka uang yang diberikan pada awal tadi hangus. Mayoritas ulama’ tradisional tidak menyepakati hal ini karena adanya Gharar dalam transaksi dan memakan harta orang lain dengan zalim. Ibnu Rushd, ulama mazhab Maliki, mengatakan tentang masalah ini, "Mayoritas ulama telah melarangnya karena melibatkan Gharar, risk-taking, dan pengambilan uang tanpa mempertimbangkan return usaha". Namun, sebagian besar mazhab Hanbali membolehkan hal tersebut. Dewan fiqh Islam OIC dan AAOIFI juga mengizinkan pembayaran penjualan dengan uang muka pada kondisi batas waktu secara spesifik ditentukan. Mereka tidak mengizinkan produk tersebut sebagai perdagangan option (baca: Ayub, Memahami Islam Keuangan; John Wiley & Sons, 2007; Pp. 209-211).
Jika kita mempertimbangkan Arbun dibolehkan, maka timbul pertanyaan: dapatkah pembeli, setelah membayar uang muka pada penjual, membuang-item tersebut sebelum akhirnya membeli dan mengambilnya kembali? Dalam pandangan saya seharusnya hal tersebut tidak dibolehkan sebagai kebijakan karena seperti jalan-belakang untuk menjual barang tanpa mengambil kepemilikan dan akhirnya mengkorupsi praktek investasi IFIs. Kami memiliki pengalaman pahit ketika ulama membolehkan on-ward sale (sebelum penyelesaian akhir) saham perusahaan dengan komitmen untuk menyelesaikan perjanjian pada pembayaran margin dan beberapa perbankan Islam pada prakteknya salah memanfaatkan izin tersebut dan mengarah pada penyimpangan serius dan menjadikan produk tersebut non-Shariah compliance (tidak sesuai dengan syari’ah).
Prinsip umum dalam penjualan Shari'ah adalah bahwa pengiriman harus diambil sebagai akibat transaksi pembelian bersamaan dengan aset, pasar dan risiko tingkat pengembalian, penjualan jangka pendek dilarang. Arbūn diperbolehkan dalam bentuk sangat berbeda dari hadging melalui short salling dan perdagangan options. Lindung nilai (hedging) pada sifat alami, ekonomi dan sebagai alat manajemen risiko diperbolehkan dalam Shariah sebagaimana adanya peraturan umum berdasarkan penerapan kontrak Shariah. Dalam arbūn, waktu harus ditentukan sebagai pilihan untuk memfinalisasi penjualan dan jumlah yang dibayarkan dengan penyesuaian dalam harga jual ketika kontrak tersebut selesai. Ini adalah sejenis Bai al Khiar di mana pembeli mengambil 3 hari untuk memfinalisasi penjualan guna menghindari kemungkinan kecurangan atau Ghabn-e-Fahish (harga di atas harga pasar komoditas). Di sisi lain, masalah utama dalam instrument customary hedging seperti opsi dan futures adalah bahwa penyelesain proses penjualan, i. e. memberikan / mengambil milik dimana pihak-pihak yang berkepentingan tidak hanya menanggung risiko, tetapi juga mentransfer risiko ke pihak lain.
Untuk informasi lebih rinci tentang kemungkinan rekayasa keuangan dalam rangka Shariah, para pembaca dapat memperlejarinya dalam) El-Gamal, Mahmoud Amin (2006); Islamic Finance: law, Economics and Practice; Cambridge University Press (chapter 5 and 6; and ii) Al-Suwailem, S. (2006); Hedging in Islamic Finance; Occasional Paper No. 10; IDB, IRTI, Jeddah.

detikInet

GUESTBOOK