Seiring dengan pesatnya arus modernisasi dan globalisasi, muncul sinyalemen bahwa manusia Jawa sudah mulai “kehilangan kiblat” kejawaannya. Hal ini terlihat dengan adanya tradisi “kekuasaan” dalam konteks masa kini yang “diselubungi” nuansa komersial.
Perambahan “kekuasaan” pada ruang publik kota terlihat dengan menjamurnya papan-papan reklame, hilangnya ruang terbuka hijau (RTH) dan berubahnya fungsi lahan menjadi pusat perdagangan. Hal ini terjadi akibat pemenuhan radikalisasi perubahan tata ruang pada era global, ketika keharmonisan dan kesinambungan antara bangunan baru dengan ruang kota menjadi hilang terjebak oleh komersialisasi yang sesaat.
Perubahan secara radikal yang tak terkendali semacam itu telah terjadi pada ruang publik maupun bangunan-bangunan yang terdapat pada kota-kota di Indonesia. Ini di antaranya, alun-alun kota sebagai ruang kota yang sebagian masih berkonsep kolonial-tradisionalistik dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan prinsip-prinsip dasar peletakkan bangunan dari pola tata kota kerajaan di Jawa, makin lama konsep kultural-religius semakin hilang.
Permasalahan lain adalah, ladang bisnis baru papan-papan reklame (billboard) yang sudah menjamur hampir di semua kota di Indonesia. Pola tata ruang dan penataan bangunan yang telah direncanakan akhirnya terhapus oleh informasi visual iklan papan reklame yang telah berhasil mengelabuhi konsumen untuk menikmati, bahkan membeli produk-produk barunya. Dengan komersialisasi persaingan tata letak papan-papan reklame tersebut, tentu saja berdampak pada penataan ruang kota dan bangunan, bahkan merusak pandangan keindahan ruang kota.
Papan-papan reklame ini dapat dilihat di sudut jalan di setiap kota, baik yang diletakkan di bagian tengah dari perempatan jalan, ditempelkan pada jembatan penyeberangan, maupun diletakkan di pembatas jalan. Begitu juga papan-papan reklame yang berada di bagian depan maupun yang menempel pada dinding pusat-pusat perbelanjaan dan pertokoan, yang dari sisi tata letak justru menutup bangunan itu sendiri. Papan-papan reklame itu mempunyai luas dan besar yang tidak sama dalam ukuran serta proporsinya terhadap bangunan, jarak antar bangunan dan sudut pandang manusia. Ketidakteraturan dalam perletakkannya telah menjadikan salah satu penyebab dari “kesemrawutan baru” pada ruang kota. Meskipun dalam kenyataannya ”kesemrawutan” dalam izin, dan desain juga terjadi, dan semua “kesemrawutan baru” itu akan menenggelamkan ciri khas kawasan, suasana, serta karakter bangunan dalam kehidupan ruang kota.
Radikalisasi perubahan ruang kota yang ada saat ini mempunyai kecenderungan ke arah diskomposisi dari ruang-ruang kota yang ada, dijadikan objek untuk meletakkan massa bangunan berdasar pertimbangan karakteristik fungsi yang tidak memperhatikan kegunaan lahannya. Disfungsional pada lahan tersebut dengan menghancurkan bangunan lama untuk dijadikan objek baru, yang akhirnya juga melanggar peraturan yang pernah dibuat sebagai dasar ketataruangannya. Kesatuan ruang dan bangunan tidak tampak, peletakkan papan-papan reklame pada bangunan pun tidak diperhitungkan tata letaknya. Sudah sewajarnya penentu kebijakan (pemerintah kota), ahli tata ruang kota, maupun para arsitek yang merancang bangunan tersebut ikut bertanggungjawab.
Ruang kota merupakan kolektivitas tempat tinggal organisme dari masyarakat yang menghuninya. Pada kenyataannya, apa yang terlihat banyak ruang kota yang terluka, bangunan bersejarah yang dirobohkan, diskomposisi pada perancangan bangunan-bangunan baru, dan perubahan tata ruang kota yang radikal.
Perjalanan ruang dan waktu telah menghadirkan perkembangan dan perubahan lahan, yang diperuntukkan bagi permukiman pun telah mengalami pergeseran menjadi tempat usaha ataupun fasilitas perdagangan. Penyalahgunaan tata guna lahan semakin menjadi tradisi sebagai komoditias ekonomi para pengusaha, dan melihat arsitektur sebagai salah satu bagian dari strategi bisnis mereka. Hal ini membangkitkan kecenderungan untuk melihat pada bangunan-bangunan sebagai objek investasi, yang membawa tata ruang bergeser menjadi ”tata uang”.
Perubahan dan pergeseran tersebut menghilangkan bangunan-bangunan lama peninggalan kolonial Belanda dirobohkan dijadikan lahan bangunan pertokoan. Pada intinya, ruang kota merupakan manifestasi dari jalan kehidupan. Di sini kehidupan dan tempat tidak dapat dipisahkan dengan begitu saja, dan ini merupakan salah satu bentuk dari tatanan ruang di dalam kota yang tidak dapat kita bagi-bagikan lagi.
Tentu saja perubahan ruang kota yang radikal di atas akan memakan tempat, RTH, dan pola kehidupan manusia. Menjamurnya pembangunan ruko yang semakin meluas akan dapat menenggelamkan kawasan dan arsitektur bangunan lama yang masih terdapat di beberapa kota. Demikian juga penataan papan-papan reklame yang terdapat di sepanjang jalan maupun yang terdapat pada sebuah bangunan harus mempertimbangkan bahwa kota, kawasan, dan masyarakat yang menempatinya mempunyai warisan budaya (cultural heritage). Landmark tersebut dapat berupa kawasan bersejarah yang terlihat pada pola dan ruangnya, maupun pada warisan arsitektur bangunannya (architecture heritage).
Hal ini yang seharusnya dijadikan dasar para penentu kebijakan (pemerintah kota) dalam meletakkan dan menata papan-papan reklame baik yang terdapat di kawasan terbuka hijau maupun pada kawasan yang penduduknya padat penduduknya agar tidak menghambat pertumbuhan ruang kota dari keterdesakan perubahan tata ruang yang radikal.
Perubahan secara mendasar perlu dilakukan oleh penentu kebijakan dalam memberi izin bagi peletakan dan desain papan reklame maupun bangunan-banguan yang menyalahi guna lahannya serta mempertahankan RTH. Khusus untuk papan reklame, bahwa bentuk dan peletakan dari papan-papan tersebut harus mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya fungsi keruangannya, lebar jalan, jarak pandang, tinggi bangunan, dan sebagainya. Di samping itu, hal yang juga perlu dijadikan pertimbangan adalah kawasan dan bangunan bersejarah di kawasan itu dapat terjaga dengan baik karena dapat menjaga privasi ruang kota.
Perambahan “kekuasaan” pada ruang publik kota terlihat dengan menjamurnya papan-papan reklame, hilangnya ruang terbuka hijau (RTH) dan berubahnya fungsi lahan menjadi pusat perdagangan. Hal ini terjadi akibat pemenuhan radikalisasi perubahan tata ruang pada era global, ketika keharmonisan dan kesinambungan antara bangunan baru dengan ruang kota menjadi hilang terjebak oleh komersialisasi yang sesaat.
Perubahan secara radikal yang tak terkendali semacam itu telah terjadi pada ruang publik maupun bangunan-bangunan yang terdapat pada kota-kota di Indonesia. Ini di antaranya, alun-alun kota sebagai ruang kota yang sebagian masih berkonsep kolonial-tradisionalistik dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan prinsip-prinsip dasar peletakkan bangunan dari pola tata kota kerajaan di Jawa, makin lama konsep kultural-religius semakin hilang.
Permasalahan lain adalah, ladang bisnis baru papan-papan reklame (billboard) yang sudah menjamur hampir di semua kota di Indonesia. Pola tata ruang dan penataan bangunan yang telah direncanakan akhirnya terhapus oleh informasi visual iklan papan reklame yang telah berhasil mengelabuhi konsumen untuk menikmati, bahkan membeli produk-produk barunya. Dengan komersialisasi persaingan tata letak papan-papan reklame tersebut, tentu saja berdampak pada penataan ruang kota dan bangunan, bahkan merusak pandangan keindahan ruang kota.
Papan-papan reklame ini dapat dilihat di sudut jalan di setiap kota, baik yang diletakkan di bagian tengah dari perempatan jalan, ditempelkan pada jembatan penyeberangan, maupun diletakkan di pembatas jalan. Begitu juga papan-papan reklame yang berada di bagian depan maupun yang menempel pada dinding pusat-pusat perbelanjaan dan pertokoan, yang dari sisi tata letak justru menutup bangunan itu sendiri. Papan-papan reklame itu mempunyai luas dan besar yang tidak sama dalam ukuran serta proporsinya terhadap bangunan, jarak antar bangunan dan sudut pandang manusia. Ketidakteraturan dalam perletakkannya telah menjadikan salah satu penyebab dari “kesemrawutan baru” pada ruang kota. Meskipun dalam kenyataannya ”kesemrawutan” dalam izin, dan desain juga terjadi, dan semua “kesemrawutan baru” itu akan menenggelamkan ciri khas kawasan, suasana, serta karakter bangunan dalam kehidupan ruang kota.
Radikalisasi perubahan ruang kota yang ada saat ini mempunyai kecenderungan ke arah diskomposisi dari ruang-ruang kota yang ada, dijadikan objek untuk meletakkan massa bangunan berdasar pertimbangan karakteristik fungsi yang tidak memperhatikan kegunaan lahannya. Disfungsional pada lahan tersebut dengan menghancurkan bangunan lama untuk dijadikan objek baru, yang akhirnya juga melanggar peraturan yang pernah dibuat sebagai dasar ketataruangannya. Kesatuan ruang dan bangunan tidak tampak, peletakkan papan-papan reklame pada bangunan pun tidak diperhitungkan tata letaknya. Sudah sewajarnya penentu kebijakan (pemerintah kota), ahli tata ruang kota, maupun para arsitek yang merancang bangunan tersebut ikut bertanggungjawab.
Ruang kota merupakan kolektivitas tempat tinggal organisme dari masyarakat yang menghuninya. Pada kenyataannya, apa yang terlihat banyak ruang kota yang terluka, bangunan bersejarah yang dirobohkan, diskomposisi pada perancangan bangunan-bangunan baru, dan perubahan tata ruang kota yang radikal.
Perjalanan ruang dan waktu telah menghadirkan perkembangan dan perubahan lahan, yang diperuntukkan bagi permukiman pun telah mengalami pergeseran menjadi tempat usaha ataupun fasilitas perdagangan. Penyalahgunaan tata guna lahan semakin menjadi tradisi sebagai komoditias ekonomi para pengusaha, dan melihat arsitektur sebagai salah satu bagian dari strategi bisnis mereka. Hal ini membangkitkan kecenderungan untuk melihat pada bangunan-bangunan sebagai objek investasi, yang membawa tata ruang bergeser menjadi ”tata uang”.
Perubahan dan pergeseran tersebut menghilangkan bangunan-bangunan lama peninggalan kolonial Belanda dirobohkan dijadikan lahan bangunan pertokoan. Pada intinya, ruang kota merupakan manifestasi dari jalan kehidupan. Di sini kehidupan dan tempat tidak dapat dipisahkan dengan begitu saja, dan ini merupakan salah satu bentuk dari tatanan ruang di dalam kota yang tidak dapat kita bagi-bagikan lagi.
Tentu saja perubahan ruang kota yang radikal di atas akan memakan tempat, RTH, dan pola kehidupan manusia. Menjamurnya pembangunan ruko yang semakin meluas akan dapat menenggelamkan kawasan dan arsitektur bangunan lama yang masih terdapat di beberapa kota. Demikian juga penataan papan-papan reklame yang terdapat di sepanjang jalan maupun yang terdapat pada sebuah bangunan harus mempertimbangkan bahwa kota, kawasan, dan masyarakat yang menempatinya mempunyai warisan budaya (cultural heritage). Landmark tersebut dapat berupa kawasan bersejarah yang terlihat pada pola dan ruangnya, maupun pada warisan arsitektur bangunannya (architecture heritage).
Hal ini yang seharusnya dijadikan dasar para penentu kebijakan (pemerintah kota) dalam meletakkan dan menata papan-papan reklame baik yang terdapat di kawasan terbuka hijau maupun pada kawasan yang penduduknya padat penduduknya agar tidak menghambat pertumbuhan ruang kota dari keterdesakan perubahan tata ruang yang radikal.
Perubahan secara mendasar perlu dilakukan oleh penentu kebijakan dalam memberi izin bagi peletakan dan desain papan reklame maupun bangunan-banguan yang menyalahi guna lahannya serta mempertahankan RTH. Khusus untuk papan reklame, bahwa bentuk dan peletakan dari papan-papan tersebut harus mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya fungsi keruangannya, lebar jalan, jarak pandang, tinggi bangunan, dan sebagainya. Di samping itu, hal yang juga perlu dijadikan pertimbangan adalah kawasan dan bangunan bersejarah di kawasan itu dapat terjaga dengan baik karena dapat menjaga privasi ruang kota.